Kamis, 22 April 2010

akhirnya ku temukan jalan pulang itu...


Ini kisahku beberapa tahun yang lalu. Mengenai krisis iman yang aku alami pada saat itu.
Seusai lulus dari kuliah,aku dan teman-teman lamaku masih berkomunikasi,dan kebanyakan mereka adalah anggota Mapala,Pencinta alam. Kami sangat suka mendaki gunung atau sekedar camping menghilangkan jenuh rutinitas sehari-hari. Pendakian paling berat yang aku rasakan saat kami mendaki G. Raung. Aku lupa ketinggiannya berapa Dpl dari permukaan laut,yang jelas aku benar-benar di buat babak belur dan berdarah karena jatuh dan kakiku juga luka. Dengan bekal handiplas dan peralatan seadanya aku berusaha menyumpat darah di lutut,kaki dan tangan ku. Dan entah berapa memar yang ada pada tubuhku. Di antara kami ber lima memang aku yang paling sedikit pengalaman dalam mendaki. Karena kelelahan aku sering berhenti dan otomatis teman-temanku juga berhenti. Ini sangat menghambat perjalanan yang mestinya satu malam kami bisa di base,tapi jadi besok paginya baru sampai. Tapi teman-temanku terus menyemangatiku,untunglah aku punya teman-teman yang sangat baik padaku. Mereka mengerti aku tidak sekuat mereka. Apalagi aku sangat takut ketinggian. Dari beberapa medan pendakian,G.Raunglah yang cukup menguji nyali bagiku. Seringkali aku memegang jaket temanku saat kami melewati jalan kecil yang di sisinya ada jurang yang lumayan dalam.
Aku memang phobia ketinggian. Tapi aku sangat suka alam. Jadi semampu mungkin aku kendalikan ketakutanku itu. Meski jantung juga deg-deg an terus. Pada saat kami sampai di padang rumput yang luas,yang kata pendaki lain anginnya sangat kencang dan harus ekstra hati-hati,aku mulai was-was. Karena aku paling ringkih aku takut juga nanti aku tergelincir atau jatuh lagi. Dan kami melewatinya. Dan pada saat itu aku tak tau kalo itu padang rumput yang di sebut pendaki sebelumnya pada kami. Kami melewatinya tanpa halangan yang berarti,angin juga tak kencang,dan medannya juga tak sulit. Sampai saat aku naik ke atas,aku baru tau bahwa itulah yang di maksud pendaki yang kami jumpai di bawah tadi. Aku sangat bersyukur,karena bagiku ini adalah keajaiban bagi kami.
Saat kami sampai di puncak Raung,nampaklah kawah Raung yang bagai mangkok raksasa. Indah sekali. Setelah berfoto-foto,kami turun. Saat turun inilah aku mengalami kesulitan. Karena sangat curam dan aku berkali-kali jatuh hingga kakiku berdarah. Saat itu kami harus memilih jalan pintas agar cepat karena kondisiku yang sudah kepayahan. Dan celakanya jalan pintas itu bukannya lebih mudah,tapi lebih parah. Banyak tebing dan jurang dan banyak celukan. Temanku yang sudah berpengalaman melompat ke sana ke sini dengan lincah. Aku harus di bimbing dan di pegangi agar tak jatuh. Saat itu temanku melompati celah kecil di antara tebing,dan aku di belakangnya juga harus melompat. Maka dengan setengah mati mematikan rasa takut ketinggianku,aku melompat dan temanku yang kaget segera memegang tanganku. Dia marah karena aku tak bilang hendak melompat jadi dia bisa siap-siap menangkap aku. Aku menoleh ke jurang di sebelahku. Aku tak bisa membayangkan seandainya temanku tadi telat memegang tanganku,entah apa yang terjadi padaku. Kami turun pada sore itu,dan langsung ngecamp karena kondisiku yang sudah payah.
Terus terang saat-saat itu aku sedang mengalami beban masalah dan aku sangat jarang berdoa. Ke gerejapun cuma sekedar kewajiban. Tak ada makna sepulang dari misa. Aku hanya mengisi waktuku dengan kegiatan-kegiatan di luar agar tidak stress dengan masalahku. Dan tawaran hiking langsung ku iyakan waktu temanku mengajakku.
Dari beberapa kejadian itu,saat sampai di rumah aku baru ‘ngeh’ . Ternyata Tuhan tidak meninggalkan aku. Dia selalu ada di dekatku,dan Dia telah menyelamatkan aku. Lancarnya pendakian kami-karena ada info ada beberapa orang yang hilang waktu pendakian-saat pergi dan pulang kami selamat,hanya luka badan saja,itu suatu mujizat besar. Dan aku sendiri juga tak percaya aku bisa sekuat itu.
Krisis iman yang ku rasakan di kikis oleh kasihNya. Aku sudah meninggalkan Dia,tapi Dia tak pernah meninggalkan aku. Aku jadi merasa sangat kecil di depanNya.
Dalam kehidupan yang rumit dan sulit ini kita selalu di penuhi dengan pergumulan. Saat keinginan tak terpenuhi,saat doa tak etrkabul,saat itulah krisis iman terjadi,dan bertanya, ‘Tuhan, dimanakah Engkau?’ Jalan salib yang kita pikul sudah sangat berat rasanya bagi kita,sampai-sampai kita merasa kitalah yang paling sengsara di dunia ini. Padahal tidak demikian. Tuhan slalu memberi jalan,tapi karena mata batin kita yang buta,kita tak melihat jalan itu. Tuhan ga beri solusi dengan instan seperti makanan siap saji jaman sekarang, Dia mengajarkan kita cara bangkit saat kita jatuh,bahkan berdarah,Dia mengajarkan kita indahnya berjalan hingga akhirnya kita bisa berlari. Karena Tuhan mau kita dewasa dalam iman. Dan itu ga terjadi dengan instant. Tuhan tau yang terbaik untuk hidup kita. Karena kita anakNya. Bapa selalu tau apa yang anakNya butuhkan. Semua butuh proses. Seperti emas yang semakin di bakar,akan menjadi semakin murni. Itulah yang Dia mau dari kita.

(Mengenang perjalanan imanku menemukan jalan pulang padaNya-Fredericka M Hendiana widowati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar