Rabu, 20 Oktober 2010

3 years..


three years ago,
where we saw the blue sky,
we sat on a bench painted gray ..
your eyes are still the same,
with the same smile,
all the same ..
only one is not the same ..
our story, three years now ..
encounter, now turned into a farewell,
though not extraordinary encounter
which ends with a farewell sweet,
but it was enough for me,
staring at your eyes, your smile,
watching your back away and getting away from the dark gray bench now ...
too quiet and sad ..
but it was enough for me ...

(a part of My Prose Book)

jogjakarta,2009

Jogjakarta,2009

Aku mengenalmu satu tahun lalu di sebuah jalan,di perempatan Malioboro. Saat itu kau mengenakan sweater hitam kesukaanmu. Kau yang begitu menawan dengan tawa dan binar indahmu. Sempat ku cemburu pada siapa saja yang dekat padamu,meski ku tahu aku tak berhak memilikimu. Sebuah luka dalam buntalan ketegaran kau bungkus rapi di sana. Aku bahkan menahan pilu setiap kali bibir pucatmu menahan derita dalam dadamu. Andai kau tau,betapa ingin ku rasakan tiap inci kepedihan itu,agar kau bisa berbagi. Tapi kau tak mau.
Saat itu gerimis turun dengan ramainya. Beberapa orang berlari mencari pelataran toko untuk berteduh. Semakin lama bertambah lebat menjadi hujan. Pedagang kaki lima bergegas mengemasi dan menyelamatkan dagangannya. Namun kau,dengan ketenanganmu,mengembangkan payung hitammu,dan memeluk bahuku erat. Kita berpayungan dalam derasnya hujan yang menjadikannya sebuah harmoni. Wajahmu yang pasi tersenyum padaku.
Bukan karna dingin yang menggigit. Tapi aku tau pasti karna sesak dalam dadamu yang kau tahan… Kau yang tegar dan kuat. Aku sungguh terpikat. Sungguh aku tak pernah mneyesali setiap tetesan air yang menerpa rambut dan kemejaku, dan celanaku,aku terlalu hangat dalam kelekatan ini.
Tepat satu tahun sudah. Aku kembali berjalan di jalan tempat kita berdua melangkah dalam lebatnya hujan malam. Sempat aku terhanyut dalam keharuan yang membuat hatiku biru. Sebuah biru yang lebam. Aku selalu merasa kau ada di sini. Dan senyum indahmu menyapaku,dengan pijar matamu yang menyamai bintang selatan. Aku tau,sebuah kerinduan ini tak akan pernah terjawab dan tak akan pernah aku tanyakan,dan selamanya hanya akan jadi sebuah hal yang menjadi keliman. Sebuah rindu yang tak pernah menjadi sebuah hal yang rapi dan indah.
Aku selalu menyimpan setiap keping kenangan yang telah menjadi serpihan,meski orang bilang serpihan tak berguna dan akan jadi barang buangan,tapi untukku,serpihan adalah robekan-robekan indah yang seharusnya di simpan dan di kumpulkan untuk menjadi keindahan meski tidak sesempurna asalnya.


Hujan kali ini sangat deras. Tapi aku menikmatinya. Bukankah karna hujan kita bertemu…??

(untuk seorang Tere,yang selalu tau cara bertahan dalam kepedihan sakitnya..)


Jogja,2009

cokelat

Cokelat Café itu memiliki dinding dengan warna unik. Tidak krem,tidak kuning,cenderung coklat mungkin. Tapi coklat yang bagaimana aku tak tau. Coklat bercampur merah atau ungu? Matamu memandang ke sana dan kemari. Mencoba mencari sesuatu yang hilang. Entahlah. Apa yang hilang? Dari semua keberadaanmu kau selalu sibuk mencari hal yang tiada. Kau meraih gelas berisi wine dan menegaknya hingga tandas. Dan lagi-lagi bola matamu mencari-cari sesuatu di antara berpuluh manusia dengan model dan warna baju yang cenderung pucat. Entah aku tak jelas melihat ke arah mana kau berputar. Aku mencoba mengikuti langkah-langkahmu. Kau berhenti,lalu berputar padaku. Menatapku, ‘aku tau mengapa café ini berwarna seperti ini’ ujarmu. Tepat di bawah bola lampu yang menyala terang,dan begitu jelas ku lihat pendar bola matamu yang coklat muda. ‘kau tahu mengapa?’ aku menggeleng,bukan karna aku memang tak tau,tapi aku memang tak tertarik dengan menu pembicaraan ini. Apa menariknya membahas warna dinding café yang bagiku sangat tidak berkarakter dan ga jelas warnanya? ‘ karena pemiliknya suka coklat. Kau lihat? Dari meja,kursi,buku menu,gelas,cangkir,dan dekorasi panggung itu..bahkan taplaknya. Semua bernuansa coklat. Yah..coklat!’ ujarmu dengan berbinar. Dan bersemangat. Coklat? Seperti terhipnotis aku menatap meja,kursi dan property lainnya yang di sebutkanmu tadi dengan seksama. Meja berwarna hitam,tapi tidak hitam pekat. Ada semburan coklat di sana. Kursi,gelas,mug yang putih tapi ada garis coklatnya..lantai panggung dengan kayu yang berwarna coklat tua.. ya,dan aku sangat kagum,bahwa café ini punya cita rasa yang unik. Coklat di semua pojok ruangnya. Aku menatapmu. Menatap dua bola matamu yang berpijar. Aku selalu kagum. Padamu. Kau selalu bisa mengendus sesuatu yang tak bisa ku bau. Kau bisa merasakan sesuatu yang tak bisa ku raba..dan itulah mengapa aku suka sekali warna coklat..karna terdapat dalam dua bola matamu yang selalu bisa berkata-kata tanpa berucap sepatah abjadpun.. Coklat yang ku cintai bahkan tak mampu ku lihat dengan mata telanjangku. Meski coklat yang ku puja adalah absurd,tapi aku sangat tergila-gila,meski aku tak tau,seperti apa rasa coklat itu.. (Café in My home Town,2010)

Lepaskan

Bila sudah memang kuntum menjadi layu,
apakah ia akan di pertahankan?
Bila pucuk-pucuknya menjadi kering
dengan apa ia akan di segarkan?
Bila semuanya menjadi mati,
dengan apakah ia akan bangkit dan hidup kembali?
Kuntum telah menjadi layu
pucuk-pucuk helainya menjadi kering
Ia mengering dan mati,
terbang jatuh pada tanah yang keras..
terinjak tiada bergerak,
hanya berserak,tergeletak…
Harum tiada akan bersua.terbekap tanap bisa bersuara,
Hanya diam dan berserah,
Menyerah,dan kalah..
Kuntum yang tak jua merekah..habis
harus terlepas dari napas kehidupannya,sebuah dahan yang menopangnya..
..Adalah takdir yang harus terjadi..
..Adalah suratan yang tak bisa di hindari..


(taman, september,2010)